Sumber Air Umbul Nogo Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri |
Di kabupaten Wonogiri
banyak sekali legenda yang berkaitan suatu tempat atau petilasan yang memiliki
kisah sejarah atau hanya sekedar mitos. Cerita tentang legenda ini dapat
dijumpai fakta tempat yang mendukung kisah-kisahnya.
Berikut adalah satu
legenda Umbul Naga sebuah cerita rakyat dari kecamatan Manyaran Kabupaten
Wonogiri. Legenda Umbul Naga dipercayai memiliki kaitan sejarah tentang
kerajaan Mataram Kuno.
Legenda Umbul Naga
berawal kisah hidup seorang sakti bernama Begawan Sidik Wacana. Begawan Sidik
Wacana memiliki anak laki-laki bernama Joko Lelono. Setelah beranjak dewasa,
Begawan Sidik Wacana meminta anaknya Joko lelono untuk segera mencari seorang
wanita untuk dijadikan istri.
“Anakku Joko Lelono, kamu
sudah saatnya mencari seorang pedamping hidup. Agar hidupmu lengkap dan ada
yang mengurus segala kebutuhanmu” pinta Begawan Sidik Wacana. “Ayahanda, memang
benar adanya, saya ingin sekali segera memiliki seorang pedamping” jawab Joko
Lelono.
Kemudian Begawan Sidik
Wacana bertanya lagi tentang gambaran seorang wanita yang ingin dijadikan
pedamping. “Aku menginginkan seorang wanita cantik, lemah lembut, setia dan
baik hati sama seperti ibunda” Joko
Lelono menjelaskan.
“Apa! Anakku apakah kamu
menginginkan Ibundamu untuk menjadi istrimu?” teriak Begawan Sidik Wacana
ternyata salah paham apa yang diucapkan Joko Lelono. “Bukan begitu ayahanda,
bukan maksud saya seperti yang ayahanda tuduhkan” bela Joko Lelono.
“Oooh anakkku, apa kamu
buta ingin memperistri ibundamu?” tegas Begawan Sidik Wacana sekali lagi. Joko
Lelono terdiam dan menunduk. Matanya terpejam erat dan meneteskan air mata,
menyesal ia mengeluarkan kata yang menyakiti hati Sang ayahanda.
Setelah hening sesaat,
Joko Lelono mencoba membuka matanya. Alangkah kaget dan bingung karena setelah
membuka mata yang terlihat hanya gelap gulita. Kemudian ia mengusap matanya
sekali lagi, dan justru semakin gelap. Karena melihat anaknya panik dengan
terus mengusap mata, Begawan Sidik Wacana segera menghampiri anaknya. “Apa yang
terjadi anakku” tanya Begawan. “Ampun ayahanda, apa yang menjadi kata ayahanda
tentang mata saya yang buta menjadi kenyataan.” Jawab Joko Lelono.
Seketika itu, perasaan
Begawan Sidik Wacana sangat sedih. Akibat mengeluarkan kata-kata yang akhirnya
menjadi kutukan bagi anaknya.
“Anakku, kejadian sudah
terlanjur. Kutukan ini akan kau jalani. Untuk menyembuhkan matamu yang buta, kau
harus menjalani ‘laku tirakat’. Pergilah ke pertapaan di Dlepih Kahyangan
Tirtomoyo, temuilah seorang pertapa Begawan Sidik Wasesa. Lakukan apapun
perintahnya.” kata Begawan Sidik Wacana.
“Kamu akan ditemani 2
abdi dalem Ki Merkak dan Ki Jebres yang akan membantu kamu selama perjalanan.” terang
Begawan.
Dengan mengendarai seekor
gajah dan membawa sebuah payung, berangkatlah Joko Lelono dan kedua abdi dalem
pergi ke Pertapaan Dlepih Kahyangan Tirtomoyo. Selama beberapa waktu melakukan
perjalanan akhirnya sampai juga ke tempat tujuan.
Dengan hati senang, Joko
Lelono mengetuk pintu Padepokan. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya keluar
juga sang pemilik Padepokan Begawan Sidik Waseso. Setelah bertemu, Joko Lelono
menceritakan kisah nya dan tujuannya menemui sang Begawan.
Dengan senyum dan
keramahannya, Begawan Sidik Waseso beranjak dari tempat duduk dan menghampiri
Joko Lelono. Ia menempelkan kedua tangannya di kelopak mata Joko Lelono.
Mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra. Sejurus kemudian, diusapkan
berkali-kali tangan ke kelopak mata yang buta.
“Ananda sekarang
berdoalah kepada Sang Pemilik Alam Jagad Raya, mohon ampunan dosa yang telah
diperbuat, serta doakan dan mohon ampun kepada sang ayahanda agar penglihatanmu
dibuka kembali.”perintah Begawan Sidik Waseso.
Sungguh ajaib, setelah
proses pengobatan selesai, dibukalah kedua kelopak mata Joko Lelono.
Perlahan-lahan ia mampu melihat seberkas cahaya, semakin lama semakin terang.
“Terima kasih duh Gusti, hamba sudah mampu melihat kembali” ucap haru Joko
Lelono.
Segera ia bersimpuh
dihadapan Begawan Sidik Waseso, karena atas pertolongan darinya ia bisa melihat
kembali. “Saya mengaturkan beribu terima kasih Sang Begawan. Sungguh merupakan
berkah hamba dapat lepas dari kutukan ayahanda.” ungkap Joko Lelono.
“Sama-sama kisanak, sudah
menjadi kewajiban kita harus tolong – menolong. Sekarang apa rencana kisanak
selanjutnya.” Jawab Sang Begawan.
Setelah sekian waktu,
akhirnya Joko Lelono berpamitan kepada Begawan Sidik Waseso. Ia hendak
melanjutkan perjalanan. Dengan ditemani kedua abdi dalemnya, Joko Lelono
melanjutkan perjalanan.
Dengan mengendarai gajah
dan membawa sebuah payung, akhirnya Joko Lelono sampai di sebuah tempat. Tempat
ini berupa bukit kecil mirip sebuah gunung yang lebih tinggi dari wilayah
sekitarnya. Kepada kedua abdi dalemnya, ia memerintahkan untuk berhenti dan
beristirahat.
Setelah itu, Joko Lelono
bersemadi sambil memulihkan tenaganya. Terjaga dari semadi, Joko Lelono
memanggil kedua abdi Ki Merkak dan Ki Jebres. “Paman berdua, saya telah
bersemadi dan mendapat petunjuk untuk melanjutkan perjalanan. Saya tidak akan
kembali ke Mataram. Saya akan terus melanjutkan perjalanan untuk menemukan
calon pedamping hidup sesuai titah ayahanda.” Kata Joko Lelono.
“Baiklah tuanku. Kami
akan terus setia mengikuti kemanapun tuanku pergi” jawab kedua abdi dalemnya.
“Untuk mengingat kejadian
ini, tempat kita beristirahat saya beri nama Gunungan.” Joko Lelono berujar
dengan lantang. Setelah berujar, ia memerintahkan kedua pembantunya
beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
Sekian waktu
beristirahat, Joko Lelono berniat melanjutkan perjalanan. Ia hendak memanggil
kedua abdi dalem, akan tetapi dilihatnya kedua orang itu masih tertidur dengan
pulas.Tidak ingin menggangu
istirahat mereka, Joko Lelono melanjutkan perjalanan dengan mengendarai gajah
hingga akhirnya pada sebuah tempat.
Ki Merkak dan Ki Jebres
tak lama pun terbangun dan beranjak menyusul tuannya yang telah pergi. Dengan
mengikuti jejak kaki gajah akhirnya segera menyusul Joko Lelono.
Mereka melihat Joko
Lelono tampak bingung dan akhirnya memutuskan turun dari punggung (geger)
gajah.
Dengan segera dihampiri
tuannya. “Kenapa Tuanku turun dari punggung gajah?” tanya kedua pembantu setia
itu. “Paman, saya bingung hendak kemana saya hendak melanjutkan perjalanan.”
Keluh Joko Lelono.
“Sabar Tuanku. Sebaiknya kita
beristirahat barang sebentar.” Saran Ki Merkak. “Baiklah. Kita beristirahat.
Untuk mengenang kejadian ini, saya namakan tempat ini Nggeger (punggung)” ujar
Joko Lelono.
Sambil beristirahat, Joko
Lelono teringat payung yang selalu ia bawa. “Paman, dimana payung yang selalu
kita bawa?” tanya Joko Lelono. “Ampun Tuanku, hamba lupa membawa. Payung itu
tertinggal dalam perjalanan.” Jawab Ki Jebres.
“Tolong paman, itu adalah
pemberian ayahanda, segera ambil kembali.” Perintah Joko Lelono. “Baiklah.
Segera kita ambil payung untuk Tuanku” jawab Ki Merkak. Pergilah kedua abdi ini
mencari dimana payung tertinggal. Sekian lama melakukan pencarian, akhirnya
sampi juga pada tempat dimana payung tertinggal. Alangkah terkejutnya melihat
payung yang dicari telah menjadi sebuah batu. “Astaga, payung telah menjadi
batu.” Teriak Ki Jebres.
Kedua abdi terkejut dan duduk disamping batu jelmaan
payung milik Joko Lelono. Untuk mengingat kejadian ini, mereka sepakat menamai
tempat ini dengan nama Watu Payung. (Bersambung ke Bagian II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar