Peresmian Waduk Gajah Mungkur Wonogiri |
BAGIAN PERTAMA
RABU pagi, 24 Nopember 1976, segenap penduduk Dukuh Karanglo, Kelurahan Pokoh Kidul, Wonogiri berdatangan dari segenap penjuru menuju rumah bayannya, Pawirodiyono. Wajah mereka nampak gembira, pakaian serba baru. Beberapa di antaranya berjaket blue-jean menyandang tas atau koper yang masih bermerek.
Ibu-ibu menyandang tas dan payung sambil menggandeng anak-anak. Beberapa orang tua bertongkat, duduk di atas koper dengan napas satu-satu dihibur oleh cucu atau buyutnya. Hari itu mereka akan meninggalkan tempat kelahiran mereka, bertransmigrasi ke Sitiung Sumatera Barat.
Jumlah seluruhnya 448 jiwa. Bergabung dalam seratus kepala keluarga. Tetapi mereka baru merupakan sebagian kecil dari seluruhnya 67. 517 jiwa atau 12.567 kepala keluarga yang harus meninggalkan daerahnya demi kepentingan mereka yang tinggal di sepanjang Bengawan Sala.
Daerah mereka yang luasnya 40.000 HA atau 88 km2 akan dijadikan waduk untuk mengatur aliran Bengawan Sala supaya dapat digunakan untuk mengairi daerah kering disekitarnya, mencegah banjir dan membangkitkan tenaga listrik. Mereka memang mendapat ganti rugi yang layak dan dipindahkan ke tempat yang layak pula. Dengan janji mendapat tanah yang cukup layak bagi petani. Tetapi beberapa orangtua toh nampak terharu meninggalkan daerah yang sudah lama dihuninya.
“Saya ini tinggal mati saja, disuruh pindah ke Sumatera Barat...” katanya dengan bahasa Jawa. Ini bisa dimaklumi. Lelaki tua bertongkat itu sudah bercicit beberapa orang. Seorang lelaki lain memandang rumahnya yang sedang dibongkar oleh pembelinya. Diperhatikannya orang-orang menurunkan genteng rumahnya. Rumah itu seluruhnya berdinding bambu dan nampak sudah tua.
“Namung gangsal welas ewu Pak!” katanya bernada datar. Hanya lima belas ribu rupiah. Mungkin selain harga-jualnya begitu murah, riwayat pembuatan rumah itu penuh berbagai macam kenangan baginya.
Sekitar pukul tujuh pagi matahari mulai menembus kabut dan menampakkan pegunungan Gajah Mungkur yang kokoh, serta bukit-bukit lain yang mengelilinginya. Kini semakin nampak betapa daerah itu sudah mulai kosong. Pohon-pohon ditebang, dijual pemiliknya. Bangunan-bangunan rumah banyak yang sudah runtuh. Sebagian lagi sedang dibenahi pembelinya.
Sementara itu suara tawa dan tangis berseling-seling. Anak-anak muda atau bapak-bapak muda nampak cerah, sementara orang-orangtua yang telah lebih lama menghuni daerah itu, mulai menangis. Apalagi jika sanak saudaranya dari desa lain berdatangan mengucapkan selamat jalan.
Tapi rasa sedih itu semakin siang semakin terhanyut kegembiraan dan kesibukan para wartawan yang mengabadikan peristiwa itu. Tak kurang dari seluruh juru-kamera melakukan tugasnya. Ditambah sejumlah wartawan yang membuat gambar-gambar. Juru kameranya dari sekretariat negara beserta beberapa pembantunya, mengabadikan peristiwa itu dengan kamera 16 mm, lengkap dengan walkie – talkie. TVRI, Humas Pemda Tingkat I, Tk. II dan beberapa orang lagi ikut hilir mudik membuat suasana menjadi meriah. Orang tertawa, orang menangis, orang mengeluh dan orang-orang sibuk membawa barang, merupakan sasaran yang diperebutkan.
Bahkan ketika rombongan itu sudah mulai berangkat ke Wonogiri, seorang juru kamera sempat melompat dari mobilnya untuk mengabadikan seorang perempuan tua yang menangis sepanjang jalan. Beberapa juru kamera yang terlambat datang, minta kepada beberapa calon transmigran supaya memperagakan bagaimana mereka meninggalkan rumah dengan wajah sedih, persis bintang film yang main dengan kaku. Hal-hal semacam inilah yang banyak melupakan kesedihan dan menimbulkan gelak-ketawa.
Hari itu dengan bus-bus kecil dari berbagai merk, mereka diberangkatkan ke Transito Wonogiri dan Sala menunggu keberangkatan ke Sitiung 26 Nopember 1976. Tidak sebagaimana biasa mereka diangkut dengan kendaraan yang cukup memadai. Setiap orang dapat duduk dengan tenang.
BEBERAPA pejabat meminta agar perpindahan penduduk Wonogiri ini tidak disebut transmigrasi tetapi “pemukiman baru”. Alasannya mereka bukanlah orang yang melarat atau tidak punya harapan untuk hidup lagi. Tetapi mereka dipindahkan dengan membawa serta seluruh harta benda mereka berikut pamong desa. Semacam “bedhol desa” lah.
Tetapi bagi saya, apa pun sebutan yang diberikan kepada mereka, kenyataannya penduduk ini dipindahkan dan mendapat perlakuan seperti transmigrasi umum. Artinya mendapat hak seperti halnya jika pemerintah menyelenggarakan transmigrasi umum. Jaminan hidup (beras, minyak tanah, minyak goreng, perlengkapan dsb) selama setahun, rumah dan tanah yang sama. Bedanya yang menyolok dengan transmigran biasa, mereka mempunyai bakal yang cukup, karena mendapat ganti rugi dari pemerintah.
Untuk memindahkan penduduk sekitar pegunungan Gajah Mungkur itu, pemerintah mengeluarkan ganti rugi bermilyard rupiah. Sebagai contoh untuk kelurahan Pokoh Kidul saja, pemerintah mengeluarkan ganti rugi Rp. 320 juta yang dibagikan kepada 899 pemilik tanah. Sampai kini ganti rugi terbesar Rp. 6 juta dan terkecil Rp. 300. Dari besar kecilnya ganti rugi ini dapatlah diketahui kaya-tidaknya seseorang: Ada tuan tanah, rakyat melarat tanpa tanah, rumah atau pekarangan. Mungkin ia mendapat uang Rp. 300,- itu karena menanam pohon mete tiga batang saja di tanah orang lain.
Walaupun rencana pemindahan penduduk di daerah itu sudah tersiar beberapa tahun yang lalu dan kemudian membara lagi tahun 1973, namun akhirnya baru terwujud bulan September 1976. Terwujud dalam arti, penduduk mulai menerima uang ganti ruginya dan harus pindah.
Ganti rugi itu diperinci antara lain untuk sawah per meter perseginya Rp. 190 sampai Rp. 95, tanah pekarangan Rp. 112 sampai Rp. 175, tanah tegalan Rp. 28 sampai Rp.70. Rumah tembok dinilai Rp.6.000,-/meter persegi, rumah kayu Rp. 2.500,- dan bambu Rp. 1.750.
Pohon-pohonan pun diganti. Termahal kayu jati Rp. 2.000,- tiap pohon dan termurah jambu mete Rp. 100,-. Sedangkan sumur dinilai antara Rp. 2.500 – sampai dengan Rp. 7.500. tanah kuburan diganti Rp. 2.000 sebagai ongkos kenduri bagi keluarga terdekat.
Sejak ganti ruginya ditetapkan, terasa kegelisahan di kalangan penduduk yang terkena Waduk Serbaguna Gajah Mungkur. Ketika pemerintah menetapkan bahwa mereka akan ditransmigrasikan, mereka menganggukkan kepala. Apalagi dengan janji “bedhol-desa” dan harapan yang menyejukkan. Semula mereka akan diberangkatkan bulan Juni yang lalu ke Rimbo Bujang, dengan janji akan mendapat tanah lima hektar bagi tiap kepala keluarga. Tapi kemudian kegelisahan timbul lagi, ketika Rimbo Bujang dibatalkan dan digantikan Sitiung, yang waktu itu masih hutan karet belaka. Kegelisahan ini makin menjadi karena mereka sejak sebelum Juni sudah tidak menaman apa-apa lagi.
Logikanya, untuk apa menanam makanan kalau pun toh nanti harus ditinggalkan sebelum dapat dipetik hasilnya?! Itulah sebabnya ketika 20 September ganti rugi mulai dibagikan, banyak penduduk yang terpaksa menggunakannya untuk sehari-hari. Sehingga ketika akhir bulan Nopember yang lalu mereka diberangkatkan praktis tinggal deposito berjangka enam bulan yang mereka miliki. Uang kontan sudah habis untuk makan atau membeli ini-itu.
Itulah sebabnya hari Rabu Pon 24 Nopember merupakan puncak kegelisahan mereka. Sebab apa yang mereka bayangkan sejak bertahun-tahun yang lalu, hari itu mulai berjalan. Kini kegelisahan tidak jadi diberangkatkan sudah musnah. Tapi sudah tentu ini bukan habis-kikis. Kegelisahan yang baru timbul lagi: bagaimana sebenarnya Sitiung itu?
(Sumber : Kompas, 7 Desember 1976 - Yang di upload pada Group FB Menggali Sejarah Wonogiri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar