Kekeringan dan krisis air bersih masih menjadi salah satu masalah pokok yang terus
dihadapi oleh masyarakat Wonogiri terutama bagian selatan. Keadaan ini tidak
bisa dilepaskan dari faktor geografis wilayah selatan yang merupakan kawasan
karst Gunung Sewu. Kawasan karst memiliki karakteristik tanah yang sulit
menyimpan air karena lapisan lempung yang tipis dengan banyak rongga batuan
gamping.
Air hujan yang turun akan terus meresap mengalir kedalam rongga batuan
gamping, menerobos hingga membentuk sungai bawah tanah yang dalam. Kondisi ini
menyebabkan sangat sulit untuk mendapatkan air tanah dengan kedalaman wajar,
layaknya wilayah bukan kawasan karst. Karakteristik permukaan tanah juga
berbeda dengan tanah pegunungan sehingga wilayah selatan tidak cocok untuk
dijadikan lahan persawahan. Sebagian besar areal pertanian adalah sawah tadah
hujan yang hanya bisa panen sekali dalam setahun.
Begitu juga permasalahan air bersih, akan menjadi problematika tahunan yang
terus menjadi beban masyarakat Wonogiri selatan. Secara keseluruhan di
Kabupaten Wonogiri bahwa wilayah kekeringan dan krisis air bersih tersebar
delapan kecamatan, yakni Pracimantoro (9 desa), Paranggupito (8 desa),
Giritontro (5 desa), Nguntoronadi (5 desa), Giriwoyo (4 desa), Eromoko (4
desa), Manyaran (2 desa) dan Selogiri (1 desa) atau mengancam 61.169 warga yang mendiami wilayah tersebut. Wilayah paling parah
memang di dua kecamatan yaitu Giritontro dan Paranggupito.
Kebijakan yang dijalankan pemerintah selama ini, belum memberikan solusi
secara permanen. Kebijakan mengatasi kekeringan hanya sebatas memberikan
bantuan tanki air bersih yang hanya bersifat sementara. Mengutip kata Bupati Wonogiri
Joko Sutopo bahwa model bantuan tangki membuat masyarakat menjadi kerdil
inovasi karena mereka diberi harapan mendapat bantuan. Meskipun bantuan air
bersih merupakan solusi bersifat ensidental, kita harus memberikan apresiasi
kepada seluruh pihak yang selama ini memberikan bantuan air bersih kepada
masyarakat Wonogiri Selatan.
Untuk mengatasi kekeringan dan krisis air bersih dalam era kepemimpinan
Bupati Wonogiri Joko Sutopo bahwa masyarakat dan seluruh pemangku kebijakan harus
mampu merubah mindset menuju pemikiran yang modern. Mengatasi kekeringan dengan
berdasarkan teknologi teknis bukan berbasis tanki. Menggali potensi wilayah dengan
melakukan survey secara lebih detail dan mendalam untuk mencari sumber air yang
bisa dimanfaatkan. Potensi ini yang ada akan disinergikan dengan program
pemerintah yang pada akhirnya masyarakat nanti bisa menikmati solusi air bersih
berbasis teknis bukan lagi berbasis tangki, bukan berbasis pencitraan, tetapi
kerja nyata yang benar berpihak kepada warga masyarakat.
Kebijakan ini tentu akan membutuhkan dukungan biaya yang cukup besar yang
bisa bersumber dari dana APBD Kabupaten Wonogiri maupun program dari pemerintah
provinsi dan pusat. Selain membangun embung-embung air juga akan dibangun
sarana prasarana pemanfaatan sumber air sungai bawah tanah maupun sumber air
lainnya. Bupati Wonogiri Joko Sutopo telah memberikan komitmen bahwa untuk
mengatasi kekeringan akan dianggarkan dana APBD Kabupaten Wonogiri minimal Rp.
2 milyar per tahun.
Pada tahun 2017, telah dilelang program pemanfaatan sumber
air Luweng Kuthah Paranggupito dengan anggaran Rp. 1,8 milyar. Dengan telah
dilelangnya kegiatan ini, maka dibutuhkan peran serta dan partisipasi aktif
seluruh masyarakat untuk mengawasi sekaligus memberikan dukungan agar program
mengatasi kekeringan dapat berjalan dengan baik. Sumber air dari luweng Kuthah
akan memberikan harapan bagi sebagian masyarakat bisa terbebas dari problematika krisis air
bersih secara permanen.
Kedepan dengan dukungan
penganggaran yang cukup serta peran aktif masyarakat maupun bantuan pihak
ketiga lainnya, masalah kekeringan di Wonogiri selatan dapat segera teratasi.
Semoga.
Kekeringan dan krisis air bersih masih menjadi salah satu masalah pokok yang terus
dihadapi oleh masyarakat Wonogiri terutama bagian selatan. Keadaan ini tidak
bisa dilepaskan dari faktor geografis wilayah selatan yang merupakan kawasan
karst Gunung Sewu. Kawasan karst memiliki karakteristik tanah yang sulit
menyimpan air karena lapisan lempung yang tipis dengan banyak rongga batuan
gamping.
Air hujan yang turun akan terus meresap mengalir kedalam rongga batuan
gamping, menerobos hingga membentuk sungai bawah tanah yang dalam. Kondisi ini
menyebabkan sangat sulit untuk mendapatkan air tanah dengan kedalaman wajar,
layaknya wilayah bukan kawasan karst. Karakteristik permukaan tanah juga
berbeda dengan tanah pegunungan sehingga wilayah selatan tidak cocok untuk
dijadikan lahan persawahan. Sebagian besar areal pertanian adalah sawah tadah
hujan yang hanya bisa panen sekali dalam setahun.
Begitu juga permasalahan air bersih, akan menjadi problematika tahunan yang
terus menjadi beban masyarakat Wonogiri selatan. Secara keseluruhan di
Kabupaten Wonogiri bahwa wilayah kekeringan dan krisis air bersih tersebar
delapan kecamatan, yakni Pracimantoro (9 desa), Paranggupito (8 desa),
Giritontro (5 desa), Nguntoronadi (5 desa), Giriwoyo (4 desa), Eromoko (4
desa), Manyaran (2 desa) dan Selogiri (1 desa) atau mengancam 61.169 warga yang mendiami wilayah tersebut. Wilayah paling parah
memang di dua kecamatan yaitu Giritontro dan Paranggupito.
Kebijakan yang dijalankan pemerintah selama ini, belum memberikan solusi
secara permanen. Kebijakan mengatasi kekeringan hanya sebatas memberikan
bantuan tanki air bersih yang hanya bersifat sementara. Mengutip kata Bupati Wonogiri
Joko Sutopo bahwa model bantuan tangki membuat masyarakat menjadi kerdil
inovasi karena mereka diberi harapan mendapat bantuan. Meskipun bantuan air
bersih merupakan solusi bersifat ensidental, kita harus memberikan apresiasi
kepada seluruh pihak yang selama ini memberikan bantuan air bersih kepada
masyarakat Wonogiri Selatan.
Untuk mengatasi kekeringan dan krisis air bersih dalam era kepemimpinan
Bupati Wonogiri Joko Sutopo bahwa masyarakat dan seluruh pemangku kebijakan harus
mampu merubah mindset menuju pemikiran yang modern. Mengatasi kekeringan dengan
berdasarkan teknologi teknis bukan berbasis tanki. Menggali potensi wilayah dengan
melakukan survey secara lebih detail dan mendalam untuk mencari sumber air yang
bisa dimanfaatkan. Potensi ini yang ada akan disinergikan dengan program
pemerintah yang pada akhirnya masyarakat nanti bisa menikmati solusi air bersih
berbasis teknis bukan lagi berbasis tangki, bukan berbasis pencitraan, tetapi
kerja nyata yang benar berpihak kepada warga masyarakat.
Kebijakan ini tentu akan membutuhkan dukungan biaya yang cukup besar yang
bisa bersumber dari dana APBD Kabupaten Wonogiri maupun program dari pemerintah
provinsi dan pusat. Selain membangun embung-embung air juga akan dibangun
sarana prasarana pemanfaatan sumber air sungai bawah tanah maupun sumber air
lainnya. Bupati Wonogiri Joko Sutopo telah memberikan komitmen bahwa untuk
mengatasi kekeringan akan dianggarkan dana APBD Kabupaten Wonogiri minimal Rp.
2 milyar per tahun.
Pada tahun 2017, telah dilelang program pemanfaatan sumber
air Luweng Kuthah Paranggupito dengan anggaran Rp. 1,8 milyar. Dengan telah
dilelangnya kegiatan ini, maka dibutuhkan peran serta dan partisipasi aktif
seluruh masyarakat untuk mengawasi sekaligus memberikan dukungan agar program
mengatasi kekeringan dapat berjalan dengan baik. Sumber air dari luweng Kuthah
akan memberikan harapan bagi sebagian masyarakat bisa terbebas dari problematika krisis air
bersih secara permanen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar