Pada masa revolusi fisik setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan negara yang
baru merdeka masih sangat mencekam. Pihak Belanda masih ingin menguasai nusantara
dengan mengerahkan pasukan sekutu menyerang wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Peristiwa pendudukan kembali wilayah Republik ini di kenal dengan
Agresi Militer Belanda.
Pada tahun 1947, Belanda
menyerang wilayah Republik Indonesia dengan kekuatan militer lengkap. Akibat serangan
Militer Belanda mampu menguasasi kota-kota besar dan membuat TNI tercerai berai
dan terdesak ke wilayah pinggiran. Pada tahun 1948, Belanda menyerang dan
menguasai Kota Yogjakarta dan menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Bung
Hatta dan Syahrir, dan beberapa menteri termasuk Agus Salim.
TNI yang pada waktu itu
dipimpin Jenderal Soedirman bersama rakyat tetap melakukan perlawanan dengan
taktik perang gerilya untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih tegak
berdiri. Aksi perang gerilya yang dilakukan dilakukan disekitar Kota Yogjakarta
meluas hingga wilayah perbatasan Jawa Tengah termasuk di Kabupaten Wonogiri.
Pasukan – pasukan kecil TNI
dengan gagah berani menghadapi militer Belanda dengan melakukan serangan
gerilya untuk membuat kekacauan militer Belanda. Pada tanggal 10 Mei 1949, satu
regu pasukan gerilya tiba di Dukuh Krisak Desa Singodutan wilayah Selogiri.
Pasukan gerilya memberitahukan kepada rakyat di Dukuh Krisak untuk meninggalkan
rumah, karena akan ada serangan berupa penghadangan dan penghancuran kepada
konvoi militer Belanda yang akan melintasi wilayah ini.
Tengah malam pada tanggal 11 Mei 1948, di Sendang
Siwani Pasukan Gerilya mengatur strategi serangan dan membagi pasukan serta
daerah penyerangan. Pasukan dibagi menjadi tiga seksi pasukan, yaitu satu seksi
pasukan dengan Senapan Mesin Ringan bersiaga di Gunung Poncol, satu seksi
pasukan senapan dengan Tekkidanto (pelempar granat) di Putuk sebelah selatan
Pasar Krisak dan satu seksi senapan bersiaga penuh di wilayah Puntuk
Karangtengah.
Setiap seksi pasukan
bersenapan ini akan dibantu oleh Regu Pertahanan Desa (Puger Desa) dari Desa
Singodutan. Pasukan gerilya dengan penuh kesiapsiagaan, memasang ranjau di
Jembatan Krisak untuk menghancurkan kendaraan militer Belanda yang nanti akan
melewati wilayah ini.
Hingga akhirnya pada pagi
hari 11 Mei 1949 jam 07.00 WIB, iring-iringan konvoi pasukan Belanda berangkat
dari Maras Militer di Wonogiri. Konvoi militer Belanda sebanyak 7 kendaraan truk
yang memuat 5-6 orang pasukan yang terdiri dari Tentara/ Polisi Belanda dan
tenaga garukan dari penduduk Dukuh Kaloran Sukorejo Giritirto.
Pada jam 07.15 konvoi
Militer Belanda memasuki daerah penghadangan. Ketika truk kedua melewati
jembatan, tiba-tiba 2 buah ranjau meledak keras hingga menghancurkan truk
Militer Belanda. Sejurus kemudian, pasukan
gerilya TNI dengan persenjataan serentak mengarahkan serangan kepada pasukan
Militer Belanda. Suara rentetan tembakan menimbulkan kepanikan pasukan Belanda
yang tidak mengira akan diserang dengan dahsyat.
Melihat militer Belanda yang
kocar-kacir meninggalkan kendaraan, dimanfaatkan Pasukan Gerilya naik ke
kendaraan dan merampas persenjataan beserta peluru serta satu kotak
obat-obatan.15 menit berlalu dengan
suasana mencekam hingga datanglah bala bantuan militer Belanda dari arah utara.
Situasi menjadi tidak menguntungkan Pasukan Gerilya hingga memutuskan menarik
mundur pasukan dan menghilangkan jejak untuk menghindari pengejaran.
Akibat serangan kilat
Pasukan Gerilya TNI bersama rakyat Selogiri mengakibatkan korban tewas di pihak
Belanda yaitu 8 orang tentara, 3 orang Polisi Belanda dan 5 orang tenaga Garukan.
Kemudian korban terluka dari militer Belanda dan tenaga Garukan berjumlah total
38 orang. Sedangkan pihak Pasukan
Gerilya TNI telah gugur 2 orang anggota yaitu Prajurit Umbar dan Prajurit
Suparman.
Akibat serangan Pasukan Gerilya TNI ini
membuat militer Belanda marah besar. Keesokan harinya, dengan membawa pasukan
lebih banyak, militer Belanda datang lagi ke sekitar lokasi serangan dan
membakar rumah-rumah penduduk di sekitar Pasar Krisak. Sebanyak 35 rumah
penduduk hangus terbakar dan rata dengan tanah.
Setelah pembakaran
pasukan Belanda terus siaga dan mengerahkan pasukan patroli untuk mengawasi
setiap gerakan Pasukan Gerilya TNI. Hari berikutnya, pasukan patroli Belanda
menembak mati Mayor Martodikromo, Suginem
yang merupakan seorang istri dari Kabayan Krisak bernama Topawiro dan
Nyonya Harjo seorang penduduk Brajan.
Kobar semangat
mempertahankan tanah air terus menyala dengan serangan-serangan kecil kepada
militer Belanda. Fakta sejarah membuktikan bahwa rakyat Selogiri dan Wonogiri
pada umumnya ikut serta dan gigih berjuang melawan penjajah Belanda yang ingin
menguasai bumi pertiwi.
Kisah Pertempuran Krisak
diabadikan dengan membangun sebuah Monumen Perjuangan 45 di tikungan jalan raya
Krisak Selogiri. Di depan Prasasti Patung Pejuang tertulis kata mutiara
perjuangan “Di sinilah darahku mengalir, Di sini pula hidupku berakhir, Tapi aku
rela hatikupun ikhlas, Tak kan menuntut jasa, tiada sedikitpun minta balas,
Karena aku yakin dan percaya Indonesia tetap merdeka dan jaya “.
Monumen Perjuangan 45 Krisak (sumber : Timlo.net) |
Semoga kisah Pertempuran Krisak
menjadi satu spirit perjuangan untuk diteruskan kepada generasi muda penerus bangsa
bahwa negara dan bangsa Indonesia didirikan serta dipertahankan dengan pengorbanan
cucuran darah dan tetesan air mata.
Min..siapa sosok pahlawan pengangkat wanita dalam patung itu ??
BalasHapus